Menit kelima, begitu kata jam tanganku. Aku hanya bisa memandangi pintu di depanku ini. Tidak menyentuhnya, atau bahkan mengetuknya.
Menit kedelapan dan aku masih mematung memandangi pintu yang masih sama. Pintu yang masih sama, delapan tahun dan tidak berubah. Cokelat yang sama, bentuk yang sama, gagang pintu yang sama. Masih pantaskah aku mengetuknya?
Menit kesepuluh dan aku masih tetap belum beranjak. Pintu yang sama, di rumah yang sama. Rumah paling ujung dari jalanan ini, rumah dengan nomor 112. Tanganku mulai bergerak hendak mengetuk. Tapi sesuatu menahanku, gengsi.
Menit kelimabelas, kakiku mulai pegal berdiri tegang di depan sebuah pintu. Otakku mulai lelah memutar memory masa kecilku di dalam rumah itu. Apakah perabotnya masih sama? Apakah ruang-ruangnya masih sama? Apakah semuanya masih sama?
Menit keduapuluh, aku merindukan rumah ini. Keputusanku untuk lari dari rumah ini delapan tahun yang lalu mulai aku sesali. Seberapa jauh aku pergi, seberapa indah tempat yang kukunjungi, hanya tempat di balik pintu inilah yang bisa aku sebut rumah.
Menit keduapuluhtujuh. Aku masih di depan pintu yang sama.
"Ayo masuk. Kenapa tidak mengetuk? Di dalam ada Bapak kok," sapa sebuah suara dari belakangku. Aku membeku, masih di depan pintu.
Entah kenapa air mataku lalu turun mendengar kalimat itu. Suara itu, aku kenal suara itu. Suara ibu. Aku rindu Ibu dan Bapak. Delapan tahun, Pak, Bu. Aku mengusap air mataku, menyiapkan diri melihat ibu yang delapan tahun aku tinggalkan. Aku berbalik dan mendapati ibu yang tersenyum ramah sambil membawa tas belanjaan, pulang dari pasar.
"Ibu, aku pulang."
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone
Comments
Post a Comment
Silahkan komen :)