Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2012

Satu

Selamat buat kamu, yang bisa bertahan. Selamat buat kamu, yang baru memulai. Selamat buat kamu, yang besok berlebaran. Selamat buat kamu, kamu, kamu, kalian semua. Semoga masih ada tahun-tahun berikutnya, untuk kamu, kamu, kamu, kalian :) Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

#20 Selamat Tinggal

From: Dion "Besok aku ke Surabaya." Itu pesan singkatmu minggu lalu yang langsung menciptakan badai bagiku. Aku ingin lari darimu. Atau sebaiknya kamu tak perlu lagi menemuiku. Atau lebih baik kalau dahulu kita tidak pernah bertemu. Tidak pernah saling mengenal. Aku takut. Aku selalu bisa luluh dengan tatapanmu. Aku tak pernah bisa melepaskan diri dari genggaman tanganmu. Aku selalu merasa nyaman berada dalam pelukanmu. Dan logikaku selalu berjalan di belakang perasaanku. *** Pertemuan kita hari itu terjadi begitu singkat. Satu hari. Ketika matahari terbenam, kamu harus segera kembali. Perempuanmu telah menanti. Siap untuk kamu nikahi. Maka sore itu aku mengantarmu ke Stasiun. Ketakutanmu dengan pesawat membuatmu lebih memilih jalur darat dibanding udara. Dan mungkin kamu juga ingin mengenang pertemuan kita yang pertama dahulu. Di kereta Jakarta-Surabaya, 2007. Menit-menit menuju perpisahan dan tanganmu semakin erat menggenggam tanganku. Kali ini kita akan saling mengucap sel

#19 Surat

"Kamu mau minta apa untuk kado ulang tahunmu nanti, Nak?" tanya seorang ayah pada anak laki-lakinya yang akan menginjak umur delapan tahun minggu depan. "Aku mau balon. Balon yang banyak. Balon yang bisa terbang," jawab si anak dengan pengucapan "r" yang belum jelas. *** Seminggu kemudian.. Sebuah pesta kecil sederhana diadakan untuk memperingati ulang tahun si anak. Sebuah kue tart dengan delapan lilin warna-warni, seorang badut dan tamu teman sekelas si anak. Pesta sederhana yang meriah. Tapi si anak masih merasa kurang. Akan selalu kurang bahkan untuk tahun-tahun yang akan datang. Seusai pesta, si ayah memberikan kado yang diminta si anak minggu lalu. Lima belas balon warna-warni. Melihat kelimabelas balon di teras rumahnya, si anak kemudian lari ke dalam rumah. Mengambil sebuah kertas, sebuah crayon dan sebuah amplop. Si anak pun menulis, "Deka sayang Bunda." Kertas itu kemudian dilipat dan dimasukkan ke dalam amplop lalu digantungkan pada ba

#18 Lampu

"Mama?" "Iya, sayang. Mama di sini. Ada Alfa dan Papa juga di sini," jawab Mama. Aku mendekat di sampingnya. Memegang tangannya. Papa diam. Badannya menegang, berusaha tegar. "Ma, di sini kok gelap? Al, nyalakan lampunya. Aku takut." Tangis Mama pecah. Dia diam sejenak lalu bertanya dengan tenang. Mukanya tabah. "Aku buta ya?" Aku diam. Papa diam. Mama terisak. Kami tak menjawab. "Alfa, jawab aku. Aku buta?" Aku tak bisa menjawabnya, aku hanya menenggelamkannya di pelukanku. Dia menangis dalam diam. Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

#17 Rel Kereta

Jingga mulai menyeruak, hangat sore mulai meraba kulit, dan gelap perlahan turun, malam mulai mengintip. Aku masih menyusuri jalur kereta api ini. Sesekali menepi ketika kereta melintas. Berjalan tanpa ada arah yang jelas. Membunuh waktu menunggu malam. Satu jam berjalan, langit sudah kelam. Aku membulatkan tekad. Tak ada lagi yang aku cari. Aku ingin pulang. *** Aku hanya ingin diam statis lalu terlindas kecepatan. Aku tertidur disebuah rel, dan esok hari namaku masuk di surat kabar. Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

#16 Lembar Terakhir

Aku selalu senang mengamati kamu dan apapun tentang kamu. Tak terkecuali ketika kamu berada di depan kasir seperti ini, bersiap membayar dua porsi makan malam kita. Kamu mengeluarkan dompetmu. Dompet pemberianku, kado pertamaku untukmu. Dompetmu selalu tipis. Tidak, bukan karena kamu tak punya uang. Aku percaya dengan pekerjaanmu sekarang, rupiah yang kamu kumpulkan berkecukupan. Hanya saja, dengan kesederhanaanmu, kamu selalu membawa uang secukupnya. Tidak akan sampai tujuh digit rupiah. Sebuah KTP, SIM A dan C, STNK dan kartu ATM. Dompetmu juga tidak pernah berisi struk belanja atau makan, atau tiket bioskop seperti dompetku. Aku selalu iri dengan foto di dompetmu. Posisinya tak pernah tergantikan sejak aku pertama kali mengenalmu, tiga tahun yang lalu. Selembar foto lusuh yang mungil, warnanya mulai luntur aus termakan waktu. Foto kamu dan keluarga kecilmu; ayah dan ibumu. Di depan rumahmu dahulu yang sederhana. Rumah yang telah tiada dilalap api. Dan foto di dompetmu itu, satu-satu

#15 Botol Kaca

"Kalau jumlah burung kertasnya ini sudah seribu mau diapain?" "Nggak tau. Bisa aku simpan bisa aku kasih ke siapapun, entah. Seseorang yang terlintas di pikiranku pas aku membuat burung yg keseribu mungkin." *** Awalnya aku hanya iseng, menyimpan laraku bersama kertas warna-warni berukuran 4 cm x 4 cm. Tanpa kata. Hanya dalam kesunyian aku menceritakan laraku waktu itu. Terlintas dibenakku untuk membagi perih itu bersama seseorang yang siap kubagi. Dan pada burung warna biru yang keseribu, aku menemukan namamu berkedip di ponselku. Dan sejak hari itu, aku mulai yakin padamu. Bahwa kamulah orang itu, orang yang memang siap berbagi denganku. Setidaknya pada saat itu. Seminggu kemudian, dalam sebuah botol kaca kusimpan keseribu burung itu. Dalam sebuah botol kaca kusimpan laraku. Lalu kuberikan padamu. *** Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

#14 Jamur

Kamu itu seperti jamur di hidupku. Ah, kalimat pembuka saja aku sudah beranalogi. Menganalogikan kamu lagi. Kamu, seperti jamur yang biasa tumbuh hanya dimusim penghujan. Jamur yang dulu biasa aku cari ketika masih kanak. Di bawah pohon melinjo, dihari-hari yang lembab. Lalu aku cabut, aku bawa ke ibu. Ibu akan memasakkanmu berbagai olahan jamur untukku. Dan kamu.. Seperti jamur itu. Mengada dimusim tertentu, tiada di musim yang lain. Cerita tentang kamu akan tumbuh berkembang hanya dalam hitungan bulan yang singkat. Dan itu berlangsung menerus. Kamu akan mengiba, mengulang kalimat yang sama. Permohonan maaf, cerita klasik mengenai alasanmu pergi, penyesalan, lalu kalimat-kalimat bujukan untuk menerimamu kembali. Dan kau akan mengulangi kesalahan yang sama. Jadi, siapa yang bodoh di sini? Sama halnya dengan jamur. Masaku mencari jamur telah habis, begitu juga dengan masaku menerimamu. Tamat. Selamat tinggal! *** Cerita ini bukan tentang jamur, tapi tentang kamu. Sent from my AXIS Worry

#13 Semawis

Sabtu malam, selalu kita habiskan di kawasan Semawis. Pertama kamu akan menjemputku di kedai milik ayahku. Menungguku membantu melayani pembeli ketika jam-jam sibuk. Jam-jam sibuk itu akan berakhir pada jam 7 atau 8 selepas makan malam. Kamu akan berpamitan dengan ayah dan ibuku. Baru kita pergi. Kemudian kita menyusuri area pecinan itu. Semawis yang sudah akrab denganku dan denganmu. Membeli dua buah bakpau isi daging yang masih panas. Sesekali membeli es puter durian. Sekali yang lain kita akan membeli jajanan yang lain. Tapi bakpau, kita tidak pernah melewatkannya. Kamu tak bermata sipit dan kamu suka bakpau. Kamu tak bermata sipit, tapi pacarmu seorang Amoy. *** *lagi kangen Semarang Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

#12 Rumah Sakit

Aku benci dengan segala hal yang behubungan dengan rumah sakit. Bagiku rumah sakit seperti halnya dengan rumah yang penuh duka. Sebuah bangunan besar yang dingin, tidak bersahabat dan berisi orang-orang yang bersedih; kurang berbahagia. Aku benci rumah sakitnya, aku benci pekerjanya, aku benci suasananya, aku benci obatnya. Aku selalu menjauhkan diri dari segala hal yang berhubungan dengan rumah sakit. Jika ada seorang yang sakit dan harus aku sambangi, maka aku tidak akan berlama-lama di sana. Harga mutlak. Bagiku rumah sakit adalah tempat bagi orang yang tidak bahagia. Orang yang sakit adalah orang yang sedang tidak berbahagia. Rumah sakit adalah tempat di mana duka, belas kasihan dan banyak energi negatif berkumpul. Terbaring di sebuah ranjang di rumah sakit dengan infus menancap di sebelah tanganku. Kata orang wajahku pucat dan aku nampak lebih kurus. Dan mereka berbelas kasihan atasku. Tidak ada tawaku yang biasanya. Iya, aku sedang tidak bahagia.

#11 Korden Biru Bunga-bunga

Aku suka memandangimu dari kejauhan. Jadi setiap pagi, aku mengintipmu dari balik korden ruang tamuku. Kebiasaan ini telah berlangsung sejak lama, sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku tidak pernah tahu tepatnya sejak kapan. Bertahun-tahun yang lalu, tepat pukul 06.15 kamu akan keluar dari rumahmu dengan seragam kemeja pendek  putih dan celana merah, dengan dasi merah dan topi yang juga merah serta dengan sepatu berwana hitam. Di situ kamu akan disuapi oleh perempuan cantik yang aku tahu dia adalah mamamu, selanjutnya kamu akan dijemput oleh mobil jemputanmu ke sekolah. Kebiasaan itu berlangsung terus bahkan hingga kita sama-sama memakai seragam putih biru. Pada saat itu kita berada di sekolah yang sama.Kamu akan berangkat bersama kakakmu yang sudah berseragam putih abu-abu. tepat jam enam lebih sepuluh menit kamu akan keluar rumah bersama ibu dan kakakmu. Kamu memakai sepatumu, mencium tangan ibumu, kemudian masuk mobil bersama kakakmu. Selanjutnya menginjak bangku SMA, aku masih mengin

#10 Lampu Kota

Waktu telah menunjukkan lewat dari jam 11 malam. Jalanan kota ini yang mulai lengang. Gerimis musim kemarau tak juga reda sedari sore. Ditambah kegundahan yang membolongi perasaanku. Kota ini menjadi begitu asing, begitu dingin. Seasing ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di Liverpool, Brussels, tanah Papua, bahkan Salzburg. Sedingin musim dingin pertamaku di Rusia. Aku masih berada di balik kemudi sebuah sedan tua. Aku tak tahu harus kemana, nowhere to go and no one to call. Pulang? Pulang kemana? Rumah? Apakah masih pantas, sepetak ruangan di bangunan berlantai 12 itu aku sebut rumah? Rumah dalam arti tempat untuk tidur mungkin, bukan rumah yang aku cari. Aku masih berputar-putar di jalan yang sama. Entah sudah kali keberapa aku melewati ruas jalan ini. Jalan dengan lampu kota berwarna oranye. Warna yang hangat. Berharap pendar oranye lampu-lampu jalanan itu mampu menghangatkan dinginnya malam ini, seperti halnya pendar oranye ketika matahari mulai menuju peraduan. Aku merasa d