"Jadi ini yaaa, es teler paling enak di seantero Jogja," katamu ketika kita baru sampai di tempat es teler favoritmu di kencan kelima kita.
"Halah. Sama saja mah ini sama yang lain, Mas," kataku sambil membenarkan posisi dudukku.
"Beda."
"Bedanya apa? Toh, isinya sama-sama buah. Harganya juga nggak jauh beda sama yang lain. Tempatnya pun mirip sama sebelah," kataku sambil melirik deretan penjual es teler di sekitarnya.
"Beda."
"Terus bedanya apa?" Aku mulai malas.
"Tunggu sampai pesanannya datang deh," jawabmu.
Tempat ini hanyalah warung tenda sederhana d itepi jalan, buka di siang hari saja. Tapi kamu bilang es teler di sini enak, lebih enak daripada yang biasa dijual di mall-mall yang kalau kita beli saja harus pakai PPN, begitu katamu. Sekitar sepuluh menit kemudian pesanan kita datang. Dua mangkuk es teler, tanpa nanas untukku.
"Makasih, Ren," katamu kepada anak umur belasan awal yang mengantarkan dua mangkuk pesanan kita. Belakangan aku tau nama anak itu Reno.
"Masih penasaran bedanya apa nggak?"
"Apa emang?"
"Yang jual. Kamu tau itu tadi yang nganter namanya Reno. Umurnya 13 tahun, kalau pulang sekolah pasti bantu-bantu di sini."
"Ooo," kataku sambil mulutku melongo. Gimana kamu bisa tahu, Mas, batinku.
"Terus itu ibu-ibu yang meracik es di depanmu ini, itu Ibunya Reno. Namanya Bu Nining. Dan bapak-bapak yang lagi nyerut es itu namanya Pak Dar, suaminya Bu Nining. Dulu ada anaknya yang paling besar, namanya Ndari juga ikut bantu-bantu. Sekarang dia sudah kerja di Jakarta. Jadi pegawai bank," kamu menceritakannya dengan fasih, seperti kamu bagian dari keluarga kecil mereka.
"Jadi ini usaha keluarga, Mas?"
"Iya. Pak Dar sama Bu Nining memang hidupnya pas-pasan. Lebih banyak menggantungkan hidup dari usahanya ini. Tapi hidup mereka berempat bahagia," ujarmu.
Aku terdiam. Kamu selalu mengejutkan, Mas. Hidupmu nggak pernah bisa ditebak. Kadang kamu seperti kecanduan kopi di kedai kopi premium, terbang dengan pesawat kesana kemari, tapi kadang berujung di warung es teler pinggir jalan.
"Enak kan esnya?"
"Iya enak," jawabku cepat, tulus. Es teler ini memang enak.
"Jelas enak dong. Mereka bikinnya tulus, pakai cinta, pakai kebahagiaan mereka."
***
Dan kini aku hanya bisa menangis sejadinya bila bertemu dengan semangkuk yang kamu akui sebagai salah satu favoritmu itu, Mas. Di dekat Tuhan ada yang seenak ini nggak, Mas? Atau lebih enak?
Comments
Post a Comment
Silahkan komen :)