Pagi itu aku sedang menikmati
secangkir cappuccino hangat di kedai
kopi Bandara ketika seorang laki-laki tiba-tiba menghampiriku.
“Mau naik atau baru turun?” tanya
laki-laki tersebut sambil mengambil tempat duduk di hadapanku.
“Hah?” tanyaku kaget.
Laki-laki itu mengarahkan pandangan
dan menunjuk ke arah backpack yang
aku letakkan di samping kursiku.
“Turun,” jawabku.
“Sudah saya tebak. Boleh saya duduk
di sini?” tanya laki-laki itu lagi sambil tersenyum. Ia sudah duduk di
hadapanku sejak beberapa detik yang lalu, tapi baru bertanya, “Aneh,” batinku.
“Sudah duduk baru bertanya. Interesting,” jawabku sambil balik
melempar senyum.
Aku mengamati laki-laki itu, usianya
mungkin sama denganku. Ia mengenakan kaus berkerah berwarnah maroon, celana jeans, sepatu sport, dan membawa sweater abu-abu. Tas yang ia pakai adalah daypack. Aku bertaruh dia hanya membawa segelintir pakaian dan
sebuah laptop. Tampaknya ia baru pulang dari perjalanan dinas. Di balik
wajahnya yang ramah ia tampak agak letih, mungkin dia baru sampai kemarin pagi,
lalu pagi ini harus kembali ke Jakarta. Orang yang efektif dan efisien.
“Tampaknya Anda sedang menilai saya,”
kata-kata laki-laki itu membuatku agak kaget.
“Impressive.
Begitu juga dengan Anda,” aku membalikkan kata-katanya. Sedari aku mengamatinya
tadi aku juga tahu kalau dia
mengamatiku.
“Wow, tidak salah saya memilih duduk
di sini. Selain saya tidak suka duduk sendirian, saya selalu terkesan dengan
orang-orang yang masih sempat meninggalkan aktivitasnya untuk kembali ke alam,”
katanya lagi.
“Saya tidak pernah habis pikir
dengan orang yang terlalu menyibukkan diri seperti Anda. Bumi ini terlalu luas
hanya untuk dilewatkan di sebuah kubikel di gedung bertingkat atau hanya
bepergian karena tuntutan pekerjaan.”
“Tampaknya Anda benar-benar pengamat
yang jeli. Ya, saya menghabiskan lebih banyak waktu di kubikel kecil dan
beberapa kali perjalanan dinas setiap bulan,” jelasnya.
“Internal
auditor?” tanyaku.
“Ya. Cukup tentang saya sepertinya.
Sepertinya cerita Anda lebih menarik,” katanya sambil mengedikkan kening.
Aku tersenyum, lalu menyecap kopiku
yang mulai dingin.
“Dari backpack yang anda bawa dan kulit anda yang agak terbakar matahari,
saya tahu Anda baru saja turun dari gunung. Lalu dari tas kamera Anda yang
cukup besar, paling tidak ada satu kamera dan dua lensa di dalamnya, saya bisa
saja mengira Anda fotografer atau hobi fotografi. Dari sepatu Anda, tampaknya
Anda cukup sering melakukan perjalanan karena sepatu Anda keluaran tahun lalu
tetapi kondisinya sudah yaaa, begitulah,” katanya sambil tertawa, kami tertawa
bersama, tawa yang menyenangkan.
“Good.
Lalu kira-kira apa pekerjaan saya?” tanyaku menantang.
“Entahlah, sepertinya Anda tidak
jauh beda dengan saya. Bekerja di kubikel kecil, hanya saja Anda tahu bagaimana
menikmati hari libur. Kalau tidak bagaimana Anda bisa membiayai perjalanan Anda,”
katanya lagi.
“Bisa betul bisa tidak. Saya kadang
bekerja di kubikel kecil. Tetapi intensitasnya bisa dihitung dengan jari setiap
bulannya. Kadang bahkan saya tidak menempati kubikel tersebut. Sisanya saya
habiskan untuk menjalankan hobi saya,” kataku.
“Pekerjaan macam apa itu?” tanya
laki-laki itu.
“Anda bisa menyebut saya traveler
atau backpacker.”
Laki-laki itu tampak bingung
mendengar jawabanku. Aku menikmati kebingungannya. Sekali lagi aku
mengamatinya, laki-laki itu punya wajah yang tampan, bersih, dan wangi.
Tingginya kira-kira 15 cm lebih tinggi dari aku, posturnya tegap, dan rajin
berolahraga.
“Saya bekerja sebagai reporter untuk
majalah travel. Selain itu saya juga freelance
fotografer. Jadi ya hari-hari saya, saya habiskan dengan menjalani hobi saya, traveling
dan fotografi. Hidup saya ya bersama kedua tas ini,” kataku sambil menepuk backpack dan camera bag.
“Okay.
Sejujurnya saya iri dengan Anda. Sampai saat ini masih banyak tempat yang ingin
saya kunjungi. Saya juga punya cukup uang untuk menuju ke sana, tapi bahkan
saya tidak bisa meluangkan waktu untuk pergi ke tempat-tempat itu. Sedangkan
Anda, punya kesempatan ke banyak tempat dan masih digaji pula,” candanya.
“Sekali-sekali
ikutlah dengan saya, akan saya tunjukkan betapa indahnya Bumi,” kataku
tiba-tiba. Aku tidak tahu dari mana kata-kata itu muncul. Sebelumnya aku bahkan
tidak pernah mengatakan hal itu kepada siapapun, apalagi kepada orang asing.
“Baiklah,”
katanya dengan wajah ceria.
“Tapi tinggalkan tas hitam
membosankan itu,” kataku sambil menunjuk tasnya lalu menambahkan, “Dan isinya.”
Kami tertawa. Kami pun bertukar
e-mail sebelum aku pergi.
-F-
Comments
Post a Comment
Silahkan komen :)