Kami mendapatkannya dari gundukan sampah di tempatku bekerja, surgaku. Dengan tekun kami mengumpulkannya ketika kami baru saja hijrah ke tempat itu. Ketika kami "resmi" bekerja di tempat itu.
Kami menyusunnya satu per satu dengan tekun. Menyulap lembaran-lembaran cokelat tebal itu menjadi tempat bernaung. Ada yang bekas televisi layar datar 42 inchi, ada yang bekas kulkas, ada yang bekas makanan. Kami kumpulkan yang masih layak.
Kami sengaja menyusunnya tepat di dekat tempat kami bekerja. Agar kami tak perlu repot-repot berjalan jauh untuk pergi bekerja. Maklum, kami tidak punya sepeda untuk pergi ke "kantor", apalagi motor atau mobil. Satu-satunya alat transportasi kami adalah sepasang kaki.
Di pagi hari, kami bangun ketika pagi masih muda. Membasuh muka di sumber air tedekat, kemudian bercengkerama dengan tetangga sejenak. Setelah matahari mulai menampakkan diri, kami pergi bekerja. Bermodal sebuah karung bekas dan sebatang besi yang ujungnya melengkung kami berangkat.
Di siang hari, atau ketika karung kami mulai penuh, kami turun lalu beristirahat sejenak. Aku dan adikku kebagian jatah tidur siang setelah makan seadanya. Oh iya, kami terbiasa merangkap makan pagi dan makan siang kami. Ayah dan Ibuku kembali bekerja selama aku dan adikku tidur.
Di sore hari, pengepul akan datang dan memberi kami uang penyambung hidup sementara ayah pergi mengayuh becak. Di malam hari, aku dan adikku akan bermain dengan anak-anak tetangga. Bermain petak umpet atau bermain dengan permainan yang kami temukan di kantor kami. Setelah lelah, kami akan pulang ke rumah kami masing-masing. Rumahku dan teman-temanku berjajar, hampir sama, berwarna cokelat.
Beruntung musim kemarau ini panjang, jadi kami tak perlu khawatir mencari tempat berlindung yang lain. Cukup di dalam kardus-kardus ini, bersama-sama, kami sudah merasa bahagia..
Comments
Post a Comment
Silahkan komen :)