Aku selalu senang mengamati kamu dan apapun tentang kamu. Tak terkecuali ketika kamu berada di depan kasir seperti ini, bersiap membayar dua porsi makan malam kita. Kamu mengeluarkan dompetmu. Dompet pemberianku, kado pertamaku untukmu. Dompetmu selalu tipis. Tidak, bukan karena kamu tak punya uang. Aku percaya dengan pekerjaanmu sekarang, rupiah yang kamu kumpulkan berkecukupan. Hanya saja, dengan kesederhanaanmu, kamu selalu membawa uang secukupnya. Tidak akan sampai tujuh digit rupiah. Sebuah KTP, SIM A dan C, STNK dan kartu ATM. Dompetmu juga tidak pernah berisi struk belanja atau makan, atau tiket bioskop seperti dompetku. Aku selalu iri dengan foto di dompetmu. Posisinya tak pernah tergantikan sejak aku pertama kali mengenalmu, tiga tahun yang lalu. Selembar foto lusuh yang mungil, warnanya mulai luntur aus termakan waktu. Foto kamu dan keluarga kecilmu; ayah dan ibumu. Di depan rumahmu dahulu yang sederhana. Rumah yang telah tiada dilalap api. Dan foto di dompetmu itu, satu-satu...